Tuesday, October 25, 2011

CATATANKU


 ANGIN PENJAGAKU

Kamu menerpa menggores dalam tanah sejarahku
Dengan rasamu mencemari adukan rasaku
Mungkin digoresankan di tanah yang tinggi
Walau terinjak tetap debuku diterbangkan ke atas
Angin datang membawaku melayang tinggi

Mestikah saya mengumpat perbuatanmu ?
Sedangkan sosokmu masih dilanda ketidakpastian
Karena sebagian debuku terhempas oleh hembusanmu
Walau bagian yang lain mengandung kekayaan
Jauh di dalam tumpukan tanah terbawah.

Di atas tak sepi, bergantian menjengukku
Bulan bergantian matahari
Mengubah tabiatku serupa lautan 
Dipasang surutkan asa oleh tarikannya 
Namun mulai kunyaman bersama angin saja di atas sana

Ada suara memanggil saya turun ke lautan
Hingga kepala tertunduk, pandangan mengarah lain
Debuku akan jatuh lalu larut dalam lautan menjadi mahakecilnya
Melemah dalam kehidupan berwadah Mahabesarnya
Sekali lagi anginku datang membawaku 
sebelum kucium tubuh dingin lautan di bawah

 Sebab tingkahkukah anda mengubahku?
Karena jasaku yang mana, anda menjagaku di atas?
Tanpa terpaanmu debu keringku telah jadi basah 
Tapi tanpa disadari kemudian juga kan lenyap

 Apakah tawa besarku penanda aku punya kandungan emas
Jauh ditumpukan dalam badan tanahku di bawah
Itukah yang meggiurkanmu mengawalku ?
Kebenaran perlahan namun lantang menjawab "tidak"

Mulutmu menyanyikanku lagu damai
Matamu menatapku hadirkan ketenangan,
Tanganmu sebagai penahan tempatku di atas,
Telingamu telah kujadikan pembuangan segala cacian
Terpaanmu penjaga diriku untuk naik ke atas

Sebagian debuku selalu ke atas
Tetap akan di atas
Selama kamu, anginku, terbang menjagaku

(Kukarang di Kampong Baru Saluajo, Tengah malam di tengah Oktober 2011)

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

SYAIR SULUHA
 
Bismillah lalu kutoreh kalam
Masa lewat seperdua malam
Kala Rembulan  sinari alam
Gemintang di langit bak tersulam

Memula syair coba kukarang
Ketika Kota belumlah terang
kendaraan berlalu suara berselang
Manusia terjaga sudahlah jarang

Angin bertiup tak henti-henti
Embun menetes tanah menanti
Mentari kan datang sudahlah pasti
Bulan cemas tak hendak diganti

Ketika angin berhembus tenang
raga disana terus terkenang
Suaranya ditelinga terngiang-ngiang
Hasrat bertandang tidak kepalang

Selalu kupikir terus kuingat
ruhku terbang penuh semangat
Tubuh yang dingin menjadi hangat
Menarik jiwa di dalam hayat

Bagaimana tidak  kurasa ini
Asmara telah tundukkan nurani
Segalanya indah bercita seni
Wujud pengecut menjadi berani

Jasadku bagai terbang melayang
Mencari penawar mabuk kepayang
Hasrat bersua tidak kepalang
Segala duka terbunuh riang

Di sana teringat badan seorang
Kusiapkan bekal jumpa kujelang
Rindu hati tidak terbilang
Seumpama bunga nantikan kumbang

Tetapi apa hendak dikata
Sudah takdir Tuhan semesta
Belumlah tiba duduk bercinta
Bersama adikku indah permata

Jauh malam hampirkan siang
Mataku tidak hendak melayang
Di ruang mata adik terbayang
Hati dan jantung rasa bergoyang

Setelah jauh di ujung malam
Raga tertidur di atas balam
Bermimpi adik bermata manikam
Datang melipur gundah di dalam

Hadirlah dinda seorang diri
Duduk anggun wajah berseri
Elok paras tak terpungkiri
Kucumbu mesrah alampun iri

Tiada berapa lama antara
Dipandang mata tidak kentara
Raga terbangun dengan segera
Hati yang rindu bertambah lara

Godaan kiranya berawal ulah
Lalu mengucap astagfirullah
Begitulah takdir kehendak Allah
Jasad yang rindu bertambah lelah

Memang apa hendak dibilang
Meraih cita belumlah terang
Sepanjang malam, sepenuh siang
Menanggung rindu remukkan tulang

Setelah pagi teranglah hari
Berjalan badan kian kemari
Tak tahu apa akan dicari
Bertemu tidak kehendak diri

Tinta dan pena dipilih jari
Dikarang syair di sepanjang hari
Pengganti raga datang sendiri
Ke pangkuan adik wajah berseri

Wahai adinda indah menawan
Salam jiwaku  di awan-awan
Syair kubuat jadi haluan
Ke atas riba dinda rupawan

Kuserahkan rasa kepada adinda
Tulus dan ikhlas di dalam dada
Harapan jiwa jangan tiada
Kutanngung rindu pilahan kakanda

Suluha indah si jantung hati
Sinar matamu terus kunanti
Bisikan katamu merdu sejati
Cinta dibunuh tak mau mati

Sebab menurut cinta di hati
Asyik terasa punya pekerti
Sungguhpun hidup rasakan mati
Baru sekarang getarnya kumengerti

Pucuk asmara tumbuhlah pasti
Tuhan yang tahu rahasia hati
Walau bercinta rasakan mati
Tidak kuindahkan tikaman belati

Siang dan malam selalu kucinta
Kepada adinda cahaya mata
Tiada hilang di kala tua
Hadirmu selalu di dalam cipta

Harapkan belas Allah Rabbana
Memandang diri makhluk yang hina
Makan tak kenyang tidur tak lena
Terbayang wajah dinda di sana

Setiap hari bersuka cita
Terkenang adinda cahaya permata
Hasrat bersua tak lagi terkata
Ibarat penantianku sudahlah renta

Tiada dapat mulut mengucapkan
Rindu asmara tak terperikan
Adinda seorang jiwa idamkan
Takkan putus badan rindukan

Rusaklah hati jiwa seorang
Rindukan paras intan di karang
Dari dahulu sampai sekarang
Andaipun rasa telah terlarang

Perkara lain tidak kupikiri
Karena rindu sehari-hari
Tiada lain keinginan diri
Hendak bersama dinda si bidadari

Ayuhai Suluha, dindaku kini
Senanglah baca syairku ini
Jadikan pengobat hatimu murni
Tunggulah suaku harap dinanti

Akhir syair kuucap wassalam
Buanglah sedih hati yang muram
Nantikan saya di siang malam
Mari berdo'a ke Pemilik Alam

Kusuratkan pada Juni 2011, kampung Kelapa Tiga - Makassar
Hadiah Buat SULUHA ku
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII


MENCARI

Keindahan, kecantikan, keanggunan
Itu yang selalu kucari
selalu
setiap kali
Diparuh besar bagian hidupku
Kulupakan hakikat darinya

Keindahan kadang kutemukan di kala senja cerah hari
Kecantikan beberapakali kujumpai dalam layar kaca maya
Keanggunan seringkali ada pada rembulan malam 

Adakah keindahan, kecantikan, keanggunan dalam wujud diri
Pengalih pujianku pada lembah indah di kaki tanah tinggi
Pemaling takjubku pada lukisan jingga di langit tepi hari
Yang menundukkan tatapku dari serakan bintang di kubah hitam

Terlupakan hakikat darinya
Karena kesenangan 
tipuan inderawi
Cobalah melihat dengan hati, nasehat ghaib yang ajaib

Benar, benar, takjub
kudapati semuanya pada obor api sederhana di tengah dusun
bukan mata yang melihat cahanya
bukan kulit yang merasakan hangatnya
Bukan juga mulutku yang menyapanya
Hati melebihi segala guna inderawi

Kutemukan keindahan, kecantikan, keanggunan 
pada obor api yang sederhana
kupandangi, kusapa, kurasakan dan kukenali dengan sebuah hati
Aku temui, aku tatap, aku sapa, kudapatkan, kumiliki.............. !!!!

 (Seperdua  malam di hari ke tujuh, bulan Agustus 2010, di sudut Masiga, kampung Keppe' - Endekan)

##############################################################

       SYAIR MENGIBA  


Sudahlah tiba suatu berita
Berisi cerita dibalut derita
Membuahkan hadiah bagi pecinta
Menggoresi zaman kisah yang nyata

Bermula waktu yang tak sabar
Pecinta dimaklumkan sebuah kabar
 Pemetik bunga telah melamar
Jadikan bunganya kini terpagar

Ancamannya berat seribu syarat
Sanggupkah melawan putusan adat
Pisahkan jalinan di dalam hayat
Siri' dan pacce yang amat berat

Kedua pihak sulit menyatu
Hubungan kasih sudah tak tentu
 Berbeda adat menjauhkan restu
Tetua tidak membukakan pintu

Sampailah jua hari yang malang
Bunga hatinya dipetik orang
Tiada pecinta berdaya garang
Agar pemetik bunganya terhadang


Sakitnya berpisah dua kekasih
Seakan kematianlah ramuan pemulih
Menjadi perpisahan yang pedih
Bagai ruh telah pergi beralih

Serasa olehnya racun merasuki hati
Terus merusak tak mau berhenti
Raganya laksana dilumpuhkan cemeti
Walaupun hidup rasanya mati

Hiburan manakah yang patut kuberi
Jika sakitnya tidak terperi
Jantungnya bagai ditikam duri
Terus menerus sepanjang hari

Wahai Dzat Pemilik Alam Baka
Turunkan untukya pengobat luka
Menjelmakan dukanya menjadi suka
Membuatnya kembali berseri muka

Bidadari, lagukan ia qasidah merdu
Jamulah dengan secawan madu
Supaya akal dan hatinya padu
Masa depannya tetap terpandu

Lalu kuatkan jiwanya dengan tanganmu
Terbangkan asanya dengan sayapmu
Kawallah selalu tiada kau jemu
Teguhkan imannya bermatakan ilmu

Akhirnya tercipta sebuah madah
Takdir tersusun insan berpasrah
Bukanlah hukuman melainkan hikmah
Mendapat pengalaman dari sejarah

Mari bercermin pada hikayat
Lalu belajar lewat tariqat
Sehingga kita bertemu hakikat
Mengharapkan hidup menjadi selamat

Syair mengiba membangun isyarat
Peristiwa ini bukanlah qiamat
Semoga kawan menjadi kuat
Mendapat bahagia dunia dan akhirat

Buat saudara Penghuni Duaribudua
Wassalam 'alaykum untuk semua
Sekadar cerita sebelum menua
Jikalau sang ajal belum bersua 


(Kisah dua pecinta sahabatku yang terpisah adat terhalang restu)
kukarang di Tepi D7 Tamalanrea dan Kampung Kelapa Tiga, Bulan Rajab 2009

-------------------------------------------------------------
                                      Makassar, Juni 2007

Susur Silsilah Bangsawan-bangsawan Melayu ke Tanah Sulawesi (Mengkhususkan Kaitan Pertalian Darah dengan To Manurung di Massenrempulu)

Apakah ada hubungan silsilah dari bangsawan2 di Alam Melayu dengan To Manurun(g) di Pegunungan Latimojong (Massenrempulu, Toraja dan Luwu') ?
Berikut adalah beberapa catatan secara subjektif dari cerita-cerita lisan yang beredar dari orang2 terdahulu di wilayah Kaluppini, Enrekang (Massenrempulu') dan dari berbagai sumber informasi yang menceritakan sejarahnya kemudian saya  mencoba menyambungkan dengan beberapa versi setelahnya, termasuk nukilan dari versi Tuhfat An-Nafis karya Raja Ali Haji . Tentunya dikaitkan khusus pada nama-nama di wilayah Massenrempulu lalu nama-nama di Alam Melayu (wa Allahu ta’ala a’lam bissawab). Tabe', ADDAMPENGANGNGA, PAMMOPPORONGNGA, PADDAMPANGANNA, PADAMBANANANNA dan dimaklumkan atas penyambungan ini yang lebih kepada melihat kaitan ke daerah asal saya.




Sejarah dari nenek moyang orang di kaki Pegunungan Latimojong bagian barat.
Nenek moyang kita ( ras Melayu sub etnik dari ras Mongoloid ) dari sebuah versi mengatakan berasal dari daerah Yunan, Cina Selatan dan wilayah Indocina yang kemudian menyebar ke seluruh kepulauan di Nusantara melalaui beberapa jalur. Salah satu kelompok lalu singgah dan menetap di Pulau Sulawesi. Mereka kemudian masuk ke wilayah sekitar aliran Sungai Saddang lalu terus ke Gunung Bambapuang. Dari sekitar Gunung Bambapuang ini mereka terus menyebar ke Timur ke daerah Pegunungan Latimojong hingga ke sebelah timurnya (Luwu'), ke Selatan daerah Maiwa, Wajo, ke Barat daerah Pinrang dan Polewali Mamasa serta Tana Toraja di utara. 
Kemudian penduduk yang telah menetap di sekitar pegunungan Bambapuang ini membangun sebuah perkampungan yang diberi nama Kampung Rura’, di sebelah timur Gunung Bambapuang dan Kampung Tinggallung di sebelah baratnya. Dan penduduk kampung Rura’ dan Tinggallung kemudian membangun Kampung Papi, Kotu, Kaluppini, Bisang, Leoran, Tanete Carruk (Enrekang). Kampung-kampung di daerah Maiwa seperti Paladang, Tapong, Limbuang, Matajang, Pasang, dll. Kampung-kampung di daerah Duri atau Tallu Batu Papan seperti Tontonan, Baroko, Buntu Batu, Malua, Alla. Kampung-kampung di daerah Kab. Pinrang secara administratif hari ini, seperti Letta', Kassa', Batu Lappa'. Kemudian dibelakang hari kampung-kampung yang disebut tadi tergabung dalam Federasi Massenreng Bulu' atau penyebutannya menjadi Massenrempulu' (Jejeran gunung). Selain perkampungan tersebut penduduk asli asal Pegunungan Bambapuang membangun juga perkampungan di Binuang, perkampungan di daerah Sa'dan Tanah Toraja (hulu Sungai Saddang), perkampungan di timur kaki Gunung Latimojong (Luwu') .
Beberapa ratus tahun kemudian datanglah beberapa Tomanurun ke daerah yang kemudian menjadi Endekan/Enrekang, Maiwa, Duri atau Persekutuan Masserempulu' dan persekutuan Kerajaan Malepon Bulan (Toraja). Manurung-Manurung tersebut  antara lain :
1. Tomanurun(g) Puang Tamboro Langi’ dari Toraja, merupakan kakek dari Lakipadada yang menjadi raja di Malepon Bulan dan kakek Lolo Bayo’ atau Karaeng Bayo’ suami dari To Manurung ri Tamalate yang menjadi Ratu pemimpin pertama Kerajaan Gowa.
2. To Matasak Malepon Bulan di Kandora Mengkendek Tallulembangna Tana Toraja dengan istrinya Tomanurun Puang Sandabilik di Kairo Sangalla Tallulembangna Tana Toraja. 
3. Tomanurun We Illang ri Langi’ di Gunung Bambapuang Kampung Kotu, Enrekang. 
4. Tomanurun Guru Sellang Puang Palipada di Buli Palli Posi Tanah, Kampung Kaluppini Enrekang bersama istrinya Embong Bulan dari Malepon Bulan (Toraja). Tomanurun Guru Sellang Puang Palipada adalah keluarga dari Batara Guru di Luwu’. 
Ada versi juga yang menyatakan bahwa Tomanurun Guru Sellang Puang Palipada adalah nama lain dari Lakipadada yang juga adalah cucu dari Tomanurun(g) Puang Tamboro Langi’ dari Toraja.

Karena cara berfikir Tomanurung lebih maju daripada penduduk asli maka Tomanurung mengajar kepada penduduk asli berupa suatu kebudayaan baru (bisa saja suatu ajaran agama) yang kemudian dijadikan adat istiadat masyarakat setempat. To Manurung membibing cara hidup yang lebih teratur, lalu penduduk asli membentuk kelompok yang digelari Pake’. Pake’ kemudian berwenang mengangkat Tomanurung menjadi pimpinannya. Tomanurung menjalankan kepemimpinannya berdasarkan kerakyatan, kemanusiaan dan keadilan. Lambat laun seiring pergantian zaman, setelah keturunannya menjadi pemimpin, istilah To Manurung digantikan dengan gelaran Puang/Arung/Datu'/Karaeng/Petta/Raja, dll.


Dari beberapa Tomanurun di daerah Masserempulu', yang akan disampaikan sejarahnya ialah Tomanurun Guru Lasellang Puang Palipada, yang  berkeluarga dengan Tomanurun Batara Guru dari Luwu (nama yang tercantum dalam Kitab La Galigo). Tomanurung Guru Lasellang Puang Palipada menjadi pemimpin di Palli, Possi Tanah, Kampung Kaluppini (Kini masuk wilayah Desa Kaluppini, Kec. Enrekang, Kab. Enrekang). Ia tinggal pada sebuah rumah di atas bukit Palli, Posi Tanah, Kampung Kaluppini .
Selama Tomanurun Puang Palipada tinggal dikampung Kaluppini, beliau  melahirkan lima orang anak-anak masing-masing :
1. Empakka Madea Batu Puang Cemba Karueng Endekan
Dipercaya penduduk setempat sebagai Wali pertama di daerah Masserempulu yang pertama-tama menyebar Agama Islam didaerah Masserempulu sekitar abad XIII M. Makamnya terletak di Buttu Tangnga Kota Enrekang.
2. La Kamummu’
Dia diberinama La Kamummu karena konon badannya berwarna ungu (Bahasa Endekan:Kamummu’). Konon dari sini pulalah cikal bakal warna panji kerajaan Massenrempulu’ berwarna ungu.
Dari cerita-cerita bersumber lisan di wilayah Endekan, disebutkan jika beliau tidak memiliki kuburan, karena belum masuk Islam dan diceritakan menghilang seperti ayahnya Tomanurun Guru Lasellang Puang Palipada.
La Kamummu’ menurunkan :
1. Takkebuku Taulan, yang menurunkan :
- Arung Maiwa (Kemungkinan Puang La Takke Buku Arung Maiwa pertama)
- Sinapati, dan
- We’ Cudai Dg. Risompa Datu' Cina Punnae Tanete Lampe Pammana Wajo, yang merupakan isteri Sawerigading (nama yang disbutkan dalam kitab La Galigo namun ini versi Massenrempulu) .
2. Puang Palindungan Paladang Maiwa, yang menurunkan :
Tomaraju Arung Buttu Endekan. Suami Puang Tianglangi’ Lando Rundun Arung Makale Tallu Lembangna (disebutkan sebagai Manggawari ketika memeluk Islam) yang juga keturunanan Tomanurun Puang Tamboro' Langi' Tomatasak Malepon Bulan.
3. We’ Monno atau We’ Sangngan, di Luwu digelar Datu’ Sengngeng, merupakan Ibu Kandung Sawerigading dan We’ Tanriabeng, ibu Simpurusiang Datu Luwu ke III (nama yang disbutkan dalam kitab La Galigo namun ini versi Massenrempulu) .
4. Marudindin La Bolong Puang Timban Ranga, kawin dengan Tomanurun dari Malepon Bulan, menurunkan keturunan : Madika Ranga Enrekang.
5. Dajeng Wanna Pute, diceritakan kawin dengan lelaki dari pegunungan Latimojong. Tulang belulang dan tengkorak kepala Dajeng Wanna Pute masih tersimpan dalam gua di Kampung Kaluppini.

Mengaitkan dengan Kedatuan Luwu’ lalu versi Tuhfat An-Nafis yang menuliskan bangsawan-bangsawan di Alam Melayu.
Dari To Manurun Guru Sellang Puang Palipada yang juga kerabat To Manurung Luwu’ Batara Guru kemudian menurunkan (berputera) La Kamummu’. La kamummu’ kemudian menurunkan Takkebuku Taulan, lalu Takkebuku Taulan yang kemudian menurunkan We’ Cudai Dg. Risompa Datu Cina Punnae Tanete Lampe Pammana Wajo, yang menjadi isteri Sawerigading (Versi Massenrempulu).
To Manurun Guru Sellang Puang Palipada juga menurunkan (berputri) We’ Monno atau We’ Sangngan yang menjadi ratu di Luwu dan bergelar Datu’ Sengngeng. We’ Sangngan merupakan ibu kandung Sawerigading dan We’ Tanriabeng. We’ Tanriabeng adalah ibunda dari Simpurusiang Datu' (Raja) Luwu ke III. Simpurusiang  kemudian menurunkan Datu’- Datu’ Luwu’ berikutnya.

Mengaitkan versi di atas, lalu m-erujuk Lontara versi Luwu` di museum Batara Guru di Palopo dan kitab Negarakerjagama, menyebutkan tradisi `raja-raja Luwu` ada sejak abad ke-9 masehi dan seluruh masa pemerintahan kerajaan Luwu terdapat 38 raja.
Raja yang ke-26 dan ke-28 adalah We Tenrileleang berputrakan La Maddusila Karaeng Tanete Mattinroe ri Dusung (bergelar Abdul Qadir Mahyuddin), yang kemudian menurunkan Opu Tenri Burang Daeng Ri Lakka'. Kemudian Opu Tenri Burang Daeng Ri Lakka' menurunkan/berputera  lima orang, yaitu Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cellak, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kammase, mereka di dalam legenda alam Melayu sangat dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung dan penakluk dari Tanah Bugis yang membawa kapal-kapal besar dengan angkatan perangnya berlayar dan menetap untuk tujuan menaklukkan daerah-daerah di sekitar perairan Selat Melaka. Mereka kemudian menetap di Negeri Johor-Riau dan sebagian menetap di Kesultanan Mempawah, Pontianak dan Sambas di Kalimantan Barat. Di Kesultanan Johor-Riau mereka turun temurun memegang jabatan penting sebagai Yang Dipertuan Muda (Yamtuan) atau Perdana Menteri. Mereka mendapat jabatan tersebut setelah mereka terlibat dalam konflik di Kesultanan Johor-Riau. 
Ketika pusat Kesultanan Johor berada di Riau, terjadi konflik kepentingan antara puak (orang-orang) Bugis, Minangkabau dan Patani. Puncaknya adalah ketika Raja Kecil putra dari Sultan Mahmud Syah II (1685-1699), merasa berhak atas tahta kesultanan. Maka bersama orang-orang Minangkabau, ia memberontak terhadap sultan yang berkuasa, yaitu Sultan Abdul Jalil Ri’ayat Syah IV (1699-1718). Raja Kecil kemudian menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1718-1722).
Dikemudian hari putera dari Sultan Ria’yat Syah IV, yaitu Raja Sulaiman menuntut balas dan juga merasa berhak atas tahta Kesultanan Johor. Raja Sulaiman kemudian dibantu oleh puak Bugis dengan sebuah perjanjian ” Bilamana orang-orang Bugis mampu merebut kekuasaan dari Raja Kecil, salah seorang dari mereka akan diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda (Perdana Menteri) secara turun temurun”. Perjanjian tersebut dikenal sebagai ”Aturan Setia Melayu dengan Bugis”.
Setelah memberontak selama empat tahun dibawah angkatan perang pimpinan Opu Daeng Marewah (Kelana Jaya Putera), akhirnya orang-orang Bugis berhasil menjatuhkan kekuasaan Raja Kecil. Raja Kecil akhirnya menyerah dan secara damai menyerahkan kekuasaan Kesultanan Johor kepada Raja Sulaiman. Kemudian Raja Kecil menuju Riau daratan dan mendirikan Kesultanan Siak Sri Indrapura di sana. Maka Raja Sulaiman pun menobatkan dirinya menjadi Sultan Johor dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1722-1760). Sultan Johor yang baru, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah sebelumnya telah berjanji kepada orang-orang Bugis akan mengangkat salah seorang dari mereka sebagai Yang Dipertuan Muda (Yamtuan). Daeng Marewah kemudian diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda I. Jabatan Yang Dipertuan Muda kemudian dijabat secara turun temurun oleh orang-orang Bugis dan secara de facto merekalah sebenarnya yang menjalankan roda pemerintahan di Kesultanan Johor-Riau.
Namun, lambat laun terjadi perpecahan diantara dualisme kekuasaan Melayu-Bugis ini. Orang–orang Bugis yang terus mendapat perlakuan istimewa dan menjadi semakin kuat kekuasaannya membuat ada ketidaksenangan dari kalangan Kesultanan sendiri, ditambah lagi orang Bugis sangat membenci Belanda mengakibatkan terjadinya perang terbuka antara Kesultanan Johor dengan Belanda. Misalnya pada tahun 1856, orang-orang Bugis menyerang Belanda yang menduduki Melaka, sehingga Belanda balik menyerang orang-orang Bugis di Kesultanan Johor yang bermukim di Pulau Lingga. Salah sorang pahlawan perang Bugis yang menjadi syuhada adalah Yamtuan IV Raja Haji Fisabilillah bin Daeng Celak. Beliau gugur di Teluk Ketapang dengan menggenggam badik ditangannya. Oleh karenanya setelah mangkat, belaiau digelari Marhum Teluk Ketapang dan dianugerahi Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1997. 
Sebelum terpecah seperti sekarang ini (terjadi pembagian wilayah oleh penjajah Belanda dan Inggris), Kesultanan Johor dan Riau adalah satu kesatuan. Oleh kelima penguasa asal Bugis ini dan keturunannya yang berhasil membawa Kesultanan Johor secara politik mencapai masa kegemilangannya dengan menundukkan Negeri Pahang, Trengganu, Selangor, Kepulauan Riau Lingga, sampai ke Negeri Perak dan Kedah. Karena terjadinya konflik internal dalam Kesultanan Johor ditambah lagi adanya campur tangan penjajah Belanda dan Inggris, Kesultanan terbagi dua menjadi Kesultanan Johor-Singapura (kini menjadi Negeri Johor Malaysia dan Negara Singapura) dijajah oleh Inggris dan Kesultanan Johor-Riau-Lingga yang kemudian dikenal sebagai Kesultanan Riau di Pulau Penyengat (kini menjadi Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, Negara Indonesia) dijajah oleh Belanda. 
Itulah sedikit dari banyak sejarah puak Bugis di Tamadun Melayu sekitar Selat Melaka. Adapun kelima putera Opu We’ Tenri Borong Daeng ri Lakka’(Tenri Burang Daeng Ri Lakka bin La Maddusila, dalam sebutan Melayu di Tuhfat An-Nafis), adalah :
1. Putera pertama bernama Opu Daeng Parani, Daeng Parani lalu berputrakan Daeng Kemboja yang merupakan Yang Dipertuan Muda   Riau III. Daeng Kemboja memiliki putra yang bernama Raja Ali menjadi Yang Dipertuan Riau V.
2. Putera kedua bernama Opu Daeng Menambun(g) alias Pangeran Emas Seri Negara, menjadi Raja di Kesultanan Mempawah, Kalimantan Barat.
3. Putera ketiga bernama Daeng Marewah, yang menjadi Yang Dipertuan Muda (Yamtuan) Riau Pertama.
4. Putera keempat bernama Opu Daeng Celak alias Daeng Pali (Marhum Mangkat di Kota), menjadi Yang Dipertuan Muda Riau II. Beliau kemudian menikahi Tengku Mandak. Dari pernikahannya, mereka menurunkan (berputera) :
• Raja Lumu alias Sultan Salehuddin, kemudian menjadi sultan pertama di Kesultanan Selangor, Malaysia
• Raja Haji Fisabilillah alias Pangeran Sutawijaya (Marhum Teluk Ketapang), Yang Dipertuan Muda Riau IV. Raja Fisabilillah adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia (Dianugerahi pada tanggal 10 Nov. 1997 oleh Presiden RI, H. Soeharto). Dari hasil pernikahan beliau dengan Encik Maryam, mereka mempunyai empat orang putera, yaitu :
- Raja Ja’far bin Raja Fisabilillah Yang Dipertuan Muda Riau VI, berputerakan:
1. Raja Abdul Rahman bin Raja Ja’far (Marhum Kampong Bulang) menjadi Yang Dipertuan Muda Riau VII.
2. Raja Ali bin Raja Ja’far (Marhum Kantor) menjadi Yang Dipertuan Riau VIII, berputera Raja Muhammad Yusuf bin Raja Ali (Marhum Ahmadi) menjadi Yang Dipertuan Riau X.
3. Raja Haji Abdullah bin Raja Ja’far (Marhum Mursyid), Yang Dipertuan Riau IX, berputera Raja Muhammad bin Raja Haji Abdullah alias Tengku Nung.
- Raja Idris
- Raji Haji Ahmad alias Engku Haji Tua, yang beristrikan Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor. Raja Haji Ahmad inilah ayahanda dari Raja Ali Haji. Seorang pujangga, sastrawan besar dan ulama yang mengarang beberapa mahakarya agung. Karya beliau yang termahsyur adalah Gurindam XII, Tuhfat an Nafis, Silsilah Melayu dan Bugis, dan masih banyak lagi mahakarya beliau. Beliau mendapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia (Dianugerahi pada tanggal 10 Nov. 2004 oleh Presiden RI, SBY).
- Engku Puteri Raja Hamidah
  Kembali ke silsilah di atas, pada Raja Ali Haji bin Raja Ahmad Riau. Beliau memiliki empat orang isteri, yaitu :
- Raja Halimah binti Raja Jafar, beranakkan Raja Kultsum dan Raja Hasan.
- Daeng Cahaya binti Daeng Manaroh, beranakkan Raja Sa’id dan Raja Muhammad Daeng Menambun.
- Raja Safiah binti Raja Jafar, beranakkan Raja Husin.
- Encik Sulong, beranakkan Raja Sulaiman alias Raja Bih.
5. Putera kelima dari Opu Tanri Barang Daeng ri Lakka bernama Daeng Kammase alias Pangeran Mangkubumi. Kemudian ia menjadi penguasa di Kesultanan Sambas, Kalimantan Barat.

NB :
Itulah gambaran sejarah panjang hubungan / pertalian keturunan dari To Manurun(g)-To Manurun(g) di Kaluppini-Enrekang (Massenrempulu'), Tanah Toraja dan Luwu' sampai ke bangsawan2 di Alam Melayu.....

wa Allahu Ta’ala a’lam bissawab.
Adapun yang mesti digaris bawahi dari tulisan saya di atas buat kita ma'lumkan dan cari lagi kebenarannya, antara lain :
  • Mengenai masa hidup Sawerigading yg masuk ke dalam versi cerita lisan masyarakat Kaluppini mesti dikaji lagi mengingat sumbernya dari cerita lisan yang tidak akurat penanggalan/tarikhnya, kemungkinan ada perbedaan selisih masa dalam era Kitab La Galigo dengan masa cerita di To Manurung di atas.
  • Kemudian versi Tuhfat An Nafis yg banyak dikutip di dalam tulisan ini harus dikaji mengenai nama La Maddusila/La Madusalat, Apakah yang dimaksudkan adalah La Maddusila Datu Tanete yang diretas silsilahnya di atas ataukah La Maddusila Arung Mampu, perlu digarisbawahi, jika 5 Opu yang disebut di atas jika dilihat dari segi waktu mereka hidup maka lebih tua/duluan masanya daripada la Maddusila Datu Tanete yang adalah leluhur mereka. ma tentu ada keganjilan, namun jika merujuk pada La maddusila Arung Mampu, maka pantas menjadi leluhur bagi Opu 5 bersaudara berdasarkan masa hidupnya. Maka kesimpulannya, bahwa la maddusila yang dimaksudkan dalam Tuhfat An-Nafis adalah La Maddusila Arung Mampu.
  • Kontroversi Raja Kecil juga sangat besar, karena saudara-saudara kita di Ranah Minangkabau dan Siak Seri Indrapura memiliki versi yang berlainan dengan cerita di atas.
Sekali lagi ini hanya berupa cerita2 lisan dan digabung dengan berbagai sumber2 mengenai Manurun(g)-manurun(g) di Massenrempulu', Toraja dan Luwu' (Wilayah pegunungan Latimojong) kemudian di teruskan dengan menyambungkan cerita dari Tuhfat An-Nafs karya Raja Ali Haji. Jika ada yang tidak sependapat dengan versi ini, tiada mengapa sebab ini adalah versi yang diambil karena ikatan asal kedaerahan penulis...
Tabek....(Ma’af atas segala kesalahan dan khilaf jika ada dalam tulisan ini, karena hanya menyambungkan cerita2 lisan yg beredar secara subjektif. 

(Tulisan ini  Belum Dapat Dijadikan Pegangan dalam Merunut Sejarah).
Wassalam ~Aco' al Makassari. 
Adapun referensi-referensi dan sumber informasi yang saya ambil kemudian disatukan untuk penelusuran sejarah dalam tulisan ini, antara lain :
- Mengutip dari grup ”To Manurun di Endekan - Bull gariz"
- Buku “Surat-Surat Raja Ali Haji Kepada Von der Wall, karya Jan Van der   Putten dan Al Azhar
- Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar baru Van Hoeve Jakarta



No comments:

Post a Comment