ANGIN PENJAGAKU
Kamu menerpa menggores dalam tanah sejarahku
Dengan rasamu mencemari adukan rasaku
Mungkin digoresankan di tanah yang tinggi
Walau terinjak tetap debuku diterbangkan ke atas
Angin datang membawaku melayang tinggi
Mestikah saya mengumpat perbuatanmu ?
Sedangkan sosokmu masih dilanda ketidakpastian
Karena sebagian debuku terhempas oleh hembusanmu
Walau bagian yang lain mengandung kekayaan
Jauh di dalam tumpukan tanah terbawah.
Di atas tak sepi, bergantian menjengukku
Bulan bergantian matahari
Mengubah tabiatku serupa lautan 
Dipasang surutkan asa oleh tarikannya 
Namun mulai kunyaman bersama angin saja di atas sana
Ada suara memanggil saya turun ke lautan
Hingga kepala tertunduk, pandangan mengarah lain
Debuku akan jatuh lalu larut dalam lautan menjadi mahakecilnya
Melemah dalam kehidupan berwadah Mahabesarnya
Sekali lagi anginku datang membawaku 
sebelum kucium tubuh dingin lautan di bawah
 Sebab tingkahkukah anda mengubahku?
Karena jasaku yang mana, anda menjagaku di atas?
Tanpa terpaanmu debu keringku telah jadi basah 
Tapi tanpa disadari kemudian juga kan lenyap
 Apakah tawa besarku penanda aku punya kandungan emas
Jauh ditumpukan dalam badan tanahku di bawah
Itukah yang meggiurkanmu mengawalku ?
Kebenaran perlahan namun lantang menjawab "tidak"
Mulutmu menyanyikanku lagu damai
Matamu menatapku hadirkan ketenangan,
Tanganmu sebagai penahan tempatku di atas,
Telingamu telah kujadikan pembuangan segala cacian
Terpaanmu penjaga diriku untuk naik ke atas
Sebagian debuku selalu ke atas
Tetap akan di atas
Selama kamu, anginku, terbang menjagaku
(Kukarang di Kampong Baru Saluajo, Tengah malam di tengah Oktober 2011)
  
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
SYAIR SULUHA
Bismillah lalu kutoreh kalam
Masa lewat seperdua malam
Kala Rembulan  sinari alam
Gemintang di langit bak tersulam
Memula syair coba kukarang
Ketika Kota belumlah terang
kendaraan berlalu suara berselang
Manusia terjaga sudahlah jarang
Angin bertiup tak henti-henti
Embun menetes tanah menanti
Mentari kan datang sudahlah pasti
Bulan cemas tak hendak diganti
Ketika angin berhembus tenang
raga disana terus terkenang
Suaranya ditelinga terngiang-ngiang
Hasrat bertandang tidak kepalang
Selalu kupikir terus kuingat
ruhku terbang penuh semangat
Tubuh yang dingin menjadi hangat
Menarik jiwa di dalam hayat
Bagaimana tidak  kurasa ini
Asmara telah tundukkan nurani
Segalanya indah bercita seni
Wujud pengecut menjadi berani
Jasadku bagai terbang melayang
Mencari penawar mabuk kepayang
Hasrat bersua tidak kepalang
Segala duka terbunuh riang
Di sana teringat badan seorang
Kusiapkan bekal jumpa kujelang
Rindu hati tidak terbilang
Seumpama bunga nantikan kumbang
Tetapi apa hendak dikata
Sudah takdir Tuhan semesta
Belumlah tiba duduk bercinta
Bersama adikku indah permata
Jauh malam hampirkan siang
Mataku tidak hendak melayang
Di ruang mata adik terbayang
Hati dan jantung rasa bergoyang
Setelah jauh di ujung malam
Raga tertidur di atas balam
Bermimpi adik bermata manikam
Datang melipur gundah di dalam
Hadirlah dinda seorang diri
Duduk anggun wajah berseri
Elok paras tak terpungkiri
Kucumbu mesrah alampun iri
Tiada berapa lama antara
Dipandang mata tidak kentara
Raga terbangun dengan segera
Hati yang rindu bertambah lara
Godaan kiranya berawal ulah
Lalu mengucap astagfirullah
Begitulah takdir kehendak Allah
Jasad yang rindu bertambah lelah
Memang apa hendak dibilang
Meraih cita belumlah terang
Sepanjang malam, sepenuh siang
Menanggung rindu remukkan tulang
Setelah pagi teranglah hari
Berjalan badan kian kemari
Tak tahu apa akan dicari
Bertemu tidak kehendak diri
Tinta dan pena dipilih jari
Dikarang syair di sepanjang hari
Pengganti raga datang sendiri
Ke pangkuan adik wajah berseri
Wahai adinda indah menawan
Salam jiwaku  di awan-awan
Syair kubuat jadi haluan
Ke atas riba dinda rupawan
Kuserahkan rasa kepada adinda
Tulus dan ikhlas di dalam dada
Harapan jiwa jangan tiada
Kutanngung rindu pilahan kakanda
Suluha indah si jantung hati
Sinar matamu terus kunanti
Bisikan katamu merdu sejati
Cinta dibunuh tak mau mati
Sebab menurut cinta di hati
Asyik terasa punya pekerti
Sungguhpun hidup rasakan mati
Baru sekarang getarnya kumengerti
Pucuk asmara tumbuhlah pasti
Tuhan yang tahu rahasia hati
Walau bercinta rasakan mati
Tidak kuindahkan tikaman belati
Siang dan malam selalu kucinta
Kepada adinda cahaya mata
Tiada hilang di kala tua
Hadirmu selalu di dalam cipta
Harapkan belas Allah Rabbana
Memandang diri makhluk yang hina
Makan tak kenyang tidur tak lena
Terbayang wajah dinda di sana
Setiap hari bersuka cita
Terkenang adinda cahaya permata
Hasrat bersua tak lagi terkata
Ibarat penantianku sudahlah renta
Tiada dapat mulut mengucapkan
Rindu asmara tak terperikan
Adinda seorang jiwa idamkan
Takkan putus badan rindukan
Rusaklah hati jiwa seorang
Rindukan paras intan di karang
Dari dahulu sampai sekarang
Andaipun rasa telah terlarang
Perkara lain tidak kupikiri
Karena rindu sehari-hari
Tiada lain keinginan diri
Hendak bersama dinda si bidadari
Ayuhai Suluha, dindaku kini
Senanglah baca syairku ini
Jadikan pengobat hatimu murni
Tunggulah suaku harap dinanti
Akhir syair kuucap wassalam
Buanglah sedih hati yang muram
Nantikan saya di siang malam
Mari berdo'a ke Pemilik Alam
Kusuratkan pada Juni 2011, kampung Kelapa Tiga - Makassar
Hadiah Buat SULUHA ku
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
MENCARI
Hadiah Buat SULUHA ku
IIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIII
MENCARI
Keindahan, kecantikan, keanggunan
Itu yang selalu kucari
selalu
setiap kali
Diparuh besar bagian hidupku
Kulupakan hakikat darinya
Keindahan kadang kutemukan di kala senja cerah hari
Kecantikan beberapakali kujumpai dalam layar kaca maya
Keanggunan seringkali ada pada rembulan malam 
Adakah keindahan, kecantikan, keanggunan dalam wujud diri
Pengalih pujianku pada lembah indah di kaki tanah tinggi
Pemaling takjubku pada lukisan jingga di langit tepi hari
Yang menundukkan tatapku dari serakan bintang di kubah hitam
Terlupakan hakikat darinya
Karena kesenangan 
tipuan inderawi
Cobalah melihat dengan hati, nasehat ghaib yang ajaib
Benar, benar, takjub
kudapati semuanya pada obor api sederhana di tengah dusun
bukan mata yang melihat cahanya
bukan kulit yang merasakan hangatnya
Bukan juga mulutku yang menyapanya
Hati melebihi segala guna inderawi
Kutemukan keindahan, kecantikan, keanggunan 
pada obor api yang sederhana
kupandangi, kusapa, kurasakan dan kukenali dengan sebuah hati
Aku temui, aku tatap, aku sapa, kudapatkan, kumiliki.............. !!!!
 (Seperdua  malam di hari ke tujuh, bulan Agustus 2010, di sudut Masiga, kampung Keppe' - Endekan)
SYAIR MENGIBA
Sudahlah tiba suatu berita
Berisi cerita dibalut derita
Membuahkan hadiah bagi pecinta
Menggoresi zaman kisah yang nyata
Bermula waktu yang tak sabar
Pecinta dimaklumkan sebuah kabar
Pemetik bunga telah melamar
Jadikan bunganya kini terpagar
Ancamannya berat seribu syarat
Sanggupkah melawan putusan adat
Pisahkan jalinan di dalam hayat
Siri' dan pacce yang amat berat
Kedua pihak sulit menyatu
Hubungan kasih sudah tak tentu
Berbeda adat menjauhkan restu
Tetua tidak membukakan pintu
Sampailah jua hari yang malang
Bunga hatinya dipetik orang
Tiada pecinta berdaya garang
Agar pemetik bunganya terhadang
Sakitnya berpisah dua kekasih
Seakan kematianlah ramuan pemulih
Menjadi perpisahan yang pedih
Bagai ruh telah pergi beralih
Serasa olehnya racun merasuki hati
Terus merusak tak mau berhenti
Raganya laksana dilumpuhkan cemeti
Walaupun hidup rasanya mati
Hiburan manakah yang patut kuberi
Jika sakitnya tidak terperi
Jantungnya bagai ditikam duri
Terus menerus sepanjang hari
Wahai Dzat Pemilik Alam Baka
Turunkan untukya pengobat luka
Menjelmakan dukanya menjadi suka
Membuatnya kembali berseri muka
Bidadari, lagukan ia qasidah merdu
Jamulah dengan secawan madu
Supaya akal dan hatinya padu
Masa depannya tetap terpandu
Lalu kuatkan jiwanya dengan tanganmu
Terbangkan asanya dengan sayapmu
Kawallah selalu tiada kau jemu
Teguhkan imannya bermatakan ilmu
Akhirnya tercipta sebuah madah
Takdir tersusun insan berpasrah
Bukanlah hukuman melainkan hikmah
Mendapat pengalaman dari sejarah
Mari bercermin pada hikayat
Lalu belajar lewat tariqat
Sehingga kita bertemu hakikat
Mengharapkan hidup menjadi selamat
Syair mengiba membangun isyarat
Peristiwa ini bukanlah qiamat
Semoga kawan menjadi kuat
Mendapat bahagia dunia dan akhirat
Buat saudara Penghuni Duaribudua
Wassalam 'alaykum untuk semua
Sekadar cerita sebelum menua
Jikalau sang ajal belum bersua
NB :
Itulah gambaran sejarah panjang hubungan / pertalian keturunan dari To Manurun(g)-To Manurun(g) di Kaluppini-Enrekang (Massenrempulu'), Tanah Toraja dan Luwu' sampai ke bangsawan2 di Alam Melayu.....
wa Allahu Ta’ala a’lam bissawab.
Adapun yang mesti digaris bawahi dari tulisan saya di atas buat kita ma'lumkan dan cari lagi kebenarannya, antara lain :
- Mengutip dari grup ”To Manurun di Endekan - Bull gariz"
- Buku “Surat-Surat Raja Ali Haji Kepada Von der Wall, karya Jan Van der Putten dan Al Azhar
- Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar baru Van Hoeve Jakarta
 
##############################################################
SYAIR MENGIBA
Sudahlah tiba suatu berita
Berisi cerita dibalut derita
Membuahkan hadiah bagi pecinta
Menggoresi zaman kisah yang nyata
Bermula waktu yang tak sabar
Pecinta dimaklumkan sebuah kabar
Pemetik bunga telah melamar
Jadikan bunganya kini terpagar
Ancamannya berat seribu syarat
Sanggupkah melawan putusan adat
Pisahkan jalinan di dalam hayat
Siri' dan pacce yang amat berat
Kedua pihak sulit menyatu
Hubungan kasih sudah tak tentu
Berbeda adat menjauhkan restu
Tetua tidak membukakan pintu
Sampailah jua hari yang malang
Bunga hatinya dipetik orang
Tiada pecinta berdaya garang
Agar pemetik bunganya terhadang
Sakitnya berpisah dua kekasih
Seakan kematianlah ramuan pemulih
Menjadi perpisahan yang pedih
Bagai ruh telah pergi beralih
Serasa olehnya racun merasuki hati
Terus merusak tak mau berhenti
Raganya laksana dilumpuhkan cemeti
Walaupun hidup rasanya mati
Hiburan manakah yang patut kuberi
Jika sakitnya tidak terperi
Jantungnya bagai ditikam duri
Terus menerus sepanjang hari
Wahai Dzat Pemilik Alam Baka
Turunkan untukya pengobat luka
Menjelmakan dukanya menjadi suka
Membuatnya kembali berseri muka
Bidadari, lagukan ia qasidah merdu
Jamulah dengan secawan madu
Supaya akal dan hatinya padu
Masa depannya tetap terpandu
Lalu kuatkan jiwanya dengan tanganmu
Terbangkan asanya dengan sayapmu
Kawallah selalu tiada kau jemu
Teguhkan imannya bermatakan ilmu
Akhirnya tercipta sebuah madah
Takdir tersusun insan berpasrah
Bukanlah hukuman melainkan hikmah
Mendapat pengalaman dari sejarah
Mari bercermin pada hikayat
Lalu belajar lewat tariqat
Sehingga kita bertemu hakikat
Mengharapkan hidup menjadi selamat
Syair mengiba membangun isyarat
Peristiwa ini bukanlah qiamat
Semoga kawan menjadi kuat
Mendapat bahagia dunia dan akhirat
Buat saudara Penghuni Duaribudua
Wassalam 'alaykum untuk semua
Sekadar cerita sebelum menua
Jikalau sang ajal belum bersua
(Kisah dua pecinta sahabatku yang terpisah adat terhalang restu)
kukarang di Tepi D7 Tamalanrea dan Kampung Kelapa Tiga, Bulan Rajab 2009
-------------------------------------------------------------
                                      Makassar, Juni 2007
Susur Silsilah Bangsawan-bangsawan Melayu ke Tanah Sulawesi (Mengkhususkan Kaitan Pertalian Darah dengan To Manurung di Massenrempulu)
Apakah
 ada hubungan silsilah dari bangsawan2 di Alam Melayu dengan To 
Manurun(g) di Pegunungan Latimojong (Massenrempulu, Toraja dan Luwu') ?
Berikut
 adalah beberapa catatan secara subjektif dari cerita-cerita lisan yang 
beredar dari orang2 terdahulu di wilayah Kaluppini, Enrekang 
(Massenrempulu') dan dari berbagai sumber informasi yang menceritakan 
sejarahnya kemudian saya  mencoba
 menyambungkan dengan beberapa versi setelahnya, termasuk nukilan dari 
versi Tuhfat An-Nafis karya Raja Ali Haji . Tentunya dikaitkan khusus 
pada nama-nama di wilayah Massenrempulu lalu nama-nama di Alam Melayu 
(wa Allahu ta’ala a’lam bissawab). Tabe', ADDAMPENGANGNGA, 
PAMMOPPORONGNGA, PADDAMPANGANNA, PADAMBANANANNA dan dimaklumkan atas 
penyambungan ini yang lebih kepada melihat kaitan ke daerah asal saya.
Sejarah dari nenek moyang orang di kaki Pegunungan Latimojong bagian barat.
Nenek
 moyang kita ( ras Melayu sub etnik dari ras Mongoloid ) dari sebuah 
versi mengatakan berasal dari daerah Yunan, Cina Selatan dan wilayah 
Indocina yang kemudian menyebar ke seluruh kepulauan di Nusantara 
melalaui beberapa jalur. Salah satu kelompok lalu singgah dan menetap di
 Pulau Sulawesi. Mereka kemudian masuk ke wilayah sekitar aliran Sungai 
Saddang lalu terus ke Gunung Bambapuang. Dari sekitar Gunung Bambapuang 
ini mereka terus menyebar ke Timur ke daerah Pegunungan Latimojong 
hingga ke sebelah timurnya (Luwu'), ke Selatan daerah Maiwa, Wajo, ke 
Barat daerah Pinrang dan Polewali Mamasa serta Tana Toraja di utara. 
Kemudian
 penduduk yang telah menetap di sekitar pegunungan Bambapuang ini 
membangun sebuah perkampungan yang diberi nama Kampung Rura’, di sebelah
 timur Gunung Bambapuang dan Kampung Tinggallung di sebelah baratnya. 
Dan penduduk kampung Rura’ dan Tinggallung kemudian membangun Kampung 
Papi, Kotu, Kaluppini, Bisang, Leoran, Tanete Carruk (Enrekang). 
Kampung-kampung di daerah Maiwa seperti Paladang, Tapong, Limbuang, 
Matajang, Pasang, dll. Kampung-kampung di daerah Duri atau Tallu Batu 
Papan seperti Tontonan, Baroko, Buntu Batu, Malua, Alla. Kampung-kampung
 di daerah Kab. Pinrang secara administratif hari ini, seperti Letta', 
Kassa', Batu Lappa'. Kemudian dibelakang hari kampung-kampung yang 
disebut tadi tergabung dalam Federasi Massenreng Bulu' atau 
penyebutannya menjadi Massenrempulu' (Jejeran gunung). Selain 
perkampungan tersebut penduduk asli asal Pegunungan Bambapuang membangun
 juga perkampungan di Binuang, perkampungan di daerah Sa'dan Tanah 
Toraja (hulu Sungai Saddang), perkampungan di timur kaki Gunung 
Latimojong (Luwu') .
Beberapa
 ratus tahun kemudian datanglah beberapa Tomanurun ke daerah yang 
kemudian menjadi Endekan/Enrekang, Maiwa, Duri atau Persekutuan 
Masserempulu' dan persekutuan Kerajaan Malepon Bulan (Toraja). 
Manurung-Manurung tersebut  antara lain :
1.
 Tomanurun(g) Puang Tamboro Langi’ dari Toraja, merupakan kakek dari 
Lakipadada yang menjadi raja di Malepon Bulan dan kakek Lolo Bayo’ atau 
Karaeng Bayo’ suami dari To Manurung ri Tamalate yang menjadi Ratu 
pemimpin pertama Kerajaan Gowa.
2.
 To Matasak Malepon Bulan di Kandora Mengkendek Tallulembangna Tana 
Toraja dengan istrinya Tomanurun Puang Sandabilik di Kairo Sangalla 
Tallulembangna Tana Toraja. 
3. Tomanurun We Illang ri Langi’ di Gunung Bambapuang Kampung Kotu, Enrekang. 
4.
 Tomanurun Guru Sellang Puang Palipada di Buli Palli Posi Tanah, Kampung
 Kaluppini Enrekang bersama istrinya Embong Bulan dari Malepon Bulan 
(Toraja). Tomanurun Guru Sellang Puang Palipada adalah keluarga dari 
Batara Guru di Luwu’. 
Ada versi juga yang menyatakan bahwa Tomanurun Guru Sellang Puang Palipada adalah nama lain dari Lakipadada yang juga adalah cucu dari Tomanurun(g) Puang Tamboro Langi’ dari Toraja.
Karena cara berfikir Tomanurung lebih maju daripada penduduk asli maka Tomanurung mengajar kepada penduduk asli berupa suatu kebudayaan baru (bisa saja suatu ajaran agama) yang kemudian dijadikan adat istiadat masyarakat setempat. To Manurung membibing cara hidup yang lebih teratur, lalu penduduk asli membentuk kelompok yang digelari Pake’. Pake’ kemudian berwenang mengangkat Tomanurung menjadi pimpinannya. Tomanurung menjalankan kepemimpinannya berdasarkan kerakyatan, kemanusiaan dan keadilan. Lambat laun seiring pergantian zaman, setelah keturunannya menjadi pemimpin, istilah To Manurung digantikan dengan gelaran Puang/Arung/Datu'/Karaeng/Petta/Raja, dll.
Ada versi juga yang menyatakan bahwa Tomanurun Guru Sellang Puang Palipada adalah nama lain dari Lakipadada yang juga adalah cucu dari Tomanurun(g) Puang Tamboro Langi’ dari Toraja.
Karena cara berfikir Tomanurung lebih maju daripada penduduk asli maka Tomanurung mengajar kepada penduduk asli berupa suatu kebudayaan baru (bisa saja suatu ajaran agama) yang kemudian dijadikan adat istiadat masyarakat setempat. To Manurung membibing cara hidup yang lebih teratur, lalu penduduk asli membentuk kelompok yang digelari Pake’. Pake’ kemudian berwenang mengangkat Tomanurung menjadi pimpinannya. Tomanurung menjalankan kepemimpinannya berdasarkan kerakyatan, kemanusiaan dan keadilan. Lambat laun seiring pergantian zaman, setelah keturunannya menjadi pemimpin, istilah To Manurung digantikan dengan gelaran Puang/Arung/Datu'/Karaeng/Petta/Raja, dll.
Dari
 beberapa Tomanurun di daerah Masserempulu', yang akan disampaikan 
sejarahnya ialah Tomanurun Guru Lasellang Puang Palipada, yang  
berkeluarga dengan Tomanurun Batara Guru dari Luwu (nama yang tercantum 
dalam Kitab La Galigo). Tomanurung Guru Lasellang Puang Palipada menjadi
 pemimpin di Palli, Possi Tanah, Kampung Kaluppini (Kini masuk wilayah 
Desa Kaluppini, Kec. Enrekang, Kab. Enrekang). Ia tinggal pada sebuah 
rumah di atas bukit Palli, Posi Tanah, Kampung Kaluppini .
Selama Tomanurun Puang Palipada tinggal dikampung Kaluppini, beliau  melahirkan lima orang anak-anak masing-masing :
1. Empakka Madea Batu Puang Cemba Karueng Endekan
Dipercaya
 penduduk setempat sebagai Wali pertama di daerah Masserempulu yang 
pertama-tama menyebar Agama Islam didaerah Masserempulu sekitar abad 
XIII M. Makamnya terletak di Buttu Tangnga Kota Enrekang.
2. La Kamummu’
Dia
 diberinama La Kamummu karena konon badannya berwarna ungu (Bahasa 
Endekan:Kamummu’). Konon dari sini pulalah cikal bakal warna panji 
kerajaan Massenrempulu’ berwarna ungu.
Dari
 cerita-cerita bersumber lisan di wilayah Endekan, disebutkan jika 
beliau tidak memiliki kuburan, karena belum masuk Islam dan diceritakan 
menghilang seperti ayahnya Tomanurun Guru Lasellang Puang Palipada.
La Kamummu’ menurunkan :
1. Takkebuku Taulan, yang menurunkan :
- Arung Maiwa (Kemungkinan Puang La Takke Buku Arung Maiwa pertama)
- Sinapati, dan
- We’ Cudai Dg. Risompa Datu' Cina Punnae Tanete Lampe Pammana Wajo, yang merupakan isteri Sawerigading (nama yang disbutkan dalam kitab La Galigo namun ini versi Massenrempulu) .
2. Puang Palindungan Paladang Maiwa, yang menurunkan :
Tomaraju Arung Buttu Endekan. Suami Puang Tianglangi’ Lando Rundun Arung Makale Tallu Lembangna (disebutkan
 sebagai Manggawari ketika memeluk Islam) yang juga keturunanan 
Tomanurun Puang Tamboro' Langi' Tomatasak Malepon Bulan.
3.
 We’ Monno atau We’ Sangngan, di Luwu digelar Datu’ Sengngeng, merupakan
 Ibu Kandung Sawerigading dan We’ Tanriabeng, ibu Simpurusiang Datu Luwu
 ke III (nama yang disbutkan dalam kitab La Galigo namun ini versi Massenrempulu) .
4.
 Marudindin La Bolong Puang Timban Ranga, kawin dengan Tomanurun dari 
Malepon Bulan, menurunkan keturunan : Madika Ranga Enrekang.
5.
 Dajeng Wanna Pute, diceritakan kawin dengan lelaki dari pegunungan 
Latimojong. Tulang belulang dan tengkorak kepala Dajeng Wanna Pute masih
 tersimpan dalam gua di Kampung Kaluppini.
Mengaitkan dengan Kedatuan Luwu’ lalu versi Tuhfat An-Nafis yang menuliskan bangsawan-bangsawan di Alam Melayu.
Dari
 To Manurun Guru Sellang Puang Palipada yang juga kerabat To Manurung 
Luwu’ Batara Guru kemudian menurunkan (berputera) La Kamummu’. La 
kamummu’ kemudian menurunkan Takkebuku Taulan, lalu Takkebuku Taulan 
yang kemudian menurunkan We’ Cudai Dg. Risompa Datu Cina Punnae Tanete 
Lampe Pammana Wajo, yang menjadi isteri Sawerigading (Versi 
Massenrempulu).
To
 Manurun Guru Sellang Puang Palipada juga menurunkan (berputri) We’ 
Monno atau We’ Sangngan yang menjadi ratu di Luwu dan bergelar Datu’ 
Sengngeng. We’ Sangngan merupakan ibu kandung Sawerigading dan We’ 
Tanriabeng. We’ Tanriabeng adalah ibunda dari Simpurusiang Datu' (Raja) 
Luwu ke III. Simpurusiang  kemudian menurunkan Datu’- Datu’ Luwu’ 
berikutnya.
Mengaitkan versi di atas, lalu m-erujuk Lontara versi Luwu` di museum Batara Guru di Palopo dan kitab Negarakerjagama, menyebutkan tradisi `raja-raja Luwu` ada sejak abad ke-9 masehi dan seluruh masa pemerintahan kerajaan Luwu terdapat 38 raja.
Mengaitkan versi di atas, lalu m-erujuk Lontara versi Luwu` di museum Batara Guru di Palopo dan kitab Negarakerjagama, menyebutkan tradisi `raja-raja Luwu` ada sejak abad ke-9 masehi dan seluruh masa pemerintahan kerajaan Luwu terdapat 38 raja.
Raja
 yang ke-26 dan ke-28 adalah We Tenrileleang berputrakan La Maddusila 
Karaeng Tanete Mattinroe ri Dusung (bergelar Abdul Qadir Mahyuddin), 
yang kemudian menurunkan Opu Tenri Burang Daeng Ri Lakka'. Kemudian Opu 
Tenri Burang Daeng Ri Lakka' menurunkan/berputera  lima orang, yaitu Opu
 Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cellak, Opu Daeng Manambong 
dan Opu Daeng Kammase, mereka di dalam legenda alam Melayu sangat 
dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung dan penakluk dari Tanah Bugis yang 
membawa kapal-kapal besar dengan angkatan perangnya berlayar dan menetap
 untuk tujuan menaklukkan daerah-daerah di sekitar perairan Selat 
Melaka. Mereka kemudian menetap di Negeri Johor-Riau dan sebagian 
menetap di Kesultanan Mempawah, Pontianak dan Sambas di Kalimantan 
Barat. Di Kesultanan Johor-Riau mereka turun temurun memegang jabatan 
penting sebagai Yang Dipertuan Muda (Yamtuan) atau Perdana Menteri. 
Mereka mendapat jabatan tersebut setelah mereka terlibat dalam konflik 
di Kesultanan Johor-Riau. 
Ketika
 pusat Kesultanan Johor berada di Riau, terjadi konflik kepentingan 
antara puak (orang-orang) Bugis, Minangkabau dan Patani. Puncaknya 
adalah ketika Raja Kecil putra dari Sultan Mahmud Syah II (1685-1699), 
merasa berhak atas tahta kesultanan. Maka bersama orang-orang 
Minangkabau, ia memberontak terhadap sultan yang berkuasa, yaitu Sultan 
Abdul Jalil Ri’ayat Syah IV (1699-1718). Raja Kecil kemudian menjadi 
sultan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1718-1722).
Dikemudian
 hari putera dari Sultan Ria’yat Syah IV, yaitu Raja Sulaiman menuntut 
balas dan juga merasa berhak atas tahta Kesultanan Johor. Raja Sulaiman 
kemudian dibantu oleh puak Bugis dengan sebuah perjanjian ” Bilamana 
orang-orang Bugis mampu merebut kekuasaan dari Raja Kecil, salah seorang
 dari mereka akan diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda (Perdana Menteri)
 secara turun temurun”. Perjanjian tersebut dikenal sebagai ”Aturan 
Setia Melayu dengan Bugis”.
Setelah
 memberontak selama empat tahun dibawah angkatan perang pimpinan Opu 
Daeng Marewah (Kelana Jaya Putera), akhirnya orang-orang Bugis berhasil 
menjatuhkan kekuasaan Raja Kecil. Raja Kecil akhirnya menyerah dan 
secara damai menyerahkan kekuasaan Kesultanan Johor kepada Raja 
Sulaiman. Kemudian Raja Kecil menuju Riau daratan dan mendirikan 
Kesultanan Siak Sri Indrapura di sana. Maka Raja Sulaiman pun menobatkan
 dirinya menjadi Sultan Johor dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul 
Alamsyah (1722-1760). Sultan Johor yang baru, Sultan Sulaiman Badrul 
Alamsyah sebelumnya telah berjanji kepada orang-orang Bugis akan 
mengangkat salah seorang dari mereka sebagai Yang Dipertuan Muda 
(Yamtuan). Daeng Marewah kemudian diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda 
I. Jabatan Yang Dipertuan Muda kemudian dijabat secara turun temurun 
oleh orang-orang Bugis dan secara de facto merekalah sebenarnya yang 
menjalankan roda pemerintahan di Kesultanan Johor-Riau.
Namun,
 lambat laun terjadi perpecahan diantara dualisme kekuasaan Melayu-Bugis
 ini. Orang–orang Bugis yang terus mendapat perlakuan istimewa dan 
menjadi semakin kuat kekuasaannya membuat ada ketidaksenangan dari 
kalangan Kesultanan sendiri, ditambah lagi orang Bugis sangat membenci 
Belanda mengakibatkan terjadinya perang terbuka antara Kesultanan Johor 
dengan Belanda. Misalnya pada tahun 1856, orang-orang Bugis menyerang 
Belanda yang menduduki Melaka, sehingga Belanda balik menyerang 
orang-orang Bugis di Kesultanan Johor yang bermukim di Pulau Lingga. 
Salah sorang pahlawan perang Bugis yang menjadi syuhada adalah Yamtuan 
IV Raja Haji Fisabilillah bin Daeng Celak. Beliau gugur di Teluk 
Ketapang dengan menggenggam badik ditangannya. Oleh karenanya setelah 
mangkat, belaiau digelari Marhum Teluk Ketapang dan dianugerahi Pahlawan
 Nasional Indonesia pada tahun 1997. 
Sebelum
 terpecah seperti sekarang ini (terjadi pembagian wilayah oleh penjajah 
Belanda dan Inggris), Kesultanan Johor dan Riau adalah satu kesatuan. 
Oleh kelima penguasa asal Bugis ini dan keturunannya yang berhasil 
membawa Kesultanan Johor secara politik mencapai masa kegemilangannya 
dengan menundukkan Negeri Pahang, Trengganu, Selangor, Kepulauan Riau 
Lingga, sampai ke Negeri Perak dan Kedah. Karena terjadinya konflik 
internal dalam Kesultanan Johor ditambah lagi adanya campur tangan 
penjajah Belanda dan Inggris, Kesultanan terbagi dua menjadi Kesultanan 
Johor-Singapura (kini menjadi Negeri Johor Malaysia dan Negara 
Singapura) dijajah oleh Inggris dan Kesultanan Johor-Riau-Lingga yang 
kemudian dikenal sebagai Kesultanan Riau di Pulau Penyengat (kini 
menjadi Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, Negara Indonesia) dijajah oleh
 Belanda. 
Itulah
 sedikit dari banyak sejarah puak Bugis di Tamadun Melayu sekitar Selat 
Melaka. Adapun kelima putera Opu We’ Tenri Borong Daeng ri Lakka’(Tenri 
Burang Daeng Ri Lakka bin La Maddusila, dalam sebutan Melayu di Tuhfat 
An-Nafis), adalah :
1.
 Putera pertama bernama Opu Daeng Parani, Daeng Parani lalu berputrakan 
Daeng Kemboja yang merupakan Yang Dipertuan Muda   Riau III. Daeng 
Kemboja memiliki putra yang bernama Raja Ali menjadi Yang Dipertuan Riau
 V.
2.
 Putera kedua bernama Opu Daeng Menambun(g) alias Pangeran Emas Seri 
Negara, menjadi Raja di Kesultanan Mempawah, Kalimantan Barat.
3. Putera ketiga bernama Daeng Marewah, yang menjadi Yang Dipertuan Muda (Yamtuan) Riau Pertama.
4.
 Putera keempat bernama Opu Daeng Celak alias Daeng Pali (Marhum Mangkat
 di Kota), menjadi Yang Dipertuan Muda Riau II. Beliau kemudian menikahi
 Tengku Mandak. Dari pernikahannya, mereka menurunkan (berputera) :
• Raja Lumu alias Sultan Salehuddin, kemudian menjadi sultan pertama di Kesultanan Selangor, Malaysia
•
 Raja Haji Fisabilillah alias Pangeran Sutawijaya (Marhum Teluk 
Ketapang), Yang Dipertuan Muda Riau IV. Raja Fisabilillah adalah salah 
seorang Pahlawan Nasional Indonesia (Dianugerahi pada tanggal 10 Nov. 
1997 oleh Presiden RI, H. Soeharto). Dari hasil pernikahan beliau dengan
 Encik Maryam, mereka mempunyai empat orang putera, yaitu :
- Raja Ja’far bin Raja Fisabilillah Yang Dipertuan Muda Riau VI, berputerakan:
1. Raja Abdul Rahman bin Raja Ja’far (Marhum Kampong Bulang) menjadi Yang Dipertuan Muda Riau VII.
2.
 Raja Ali bin Raja Ja’far (Marhum Kantor) menjadi Yang Dipertuan Riau 
VIII, berputera Raja Muhammad Yusuf bin Raja Ali (Marhum Ahmadi) menjadi
 Yang Dipertuan Riau X.
3.
 Raja Haji Abdullah bin Raja Ja’far (Marhum Mursyid), Yang Dipertuan 
Riau IX, berputera Raja Muhammad bin Raja Haji Abdullah alias Tengku 
Nung.
- Raja Idris
-
 Raji Haji Ahmad alias Engku Haji Tua, yang beristrikan Encik Hamidah 
binti Panglima Malik Selangor. Raja Haji Ahmad inilah ayahanda dari Raja
 Ali Haji. Seorang pujangga, sastrawan besar dan ulama yang mengarang 
beberapa mahakarya agung. Karya beliau yang termahsyur adalah Gurindam 
XII, Tuhfat an Nafis, Silsilah Melayu dan Bugis, dan masih banyak lagi 
mahakarya beliau. Beliau mendapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia 
(Dianugerahi pada tanggal 10 Nov. 2004 oleh Presiden RI, SBY).
- Engku Puteri Raja Hamidah
  Kembali ke silsilah di atas, pada Raja Ali Haji bin Raja Ahmad Riau. Beliau memiliki empat orang isteri, yaitu :
- Raja Halimah binti Raja Jafar, beranakkan Raja Kultsum dan Raja Hasan.
- Daeng Cahaya binti Daeng Manaroh, beranakkan Raja Sa’id dan Raja Muhammad Daeng Menambun.
- Raja Safiah binti Raja Jafar, beranakkan Raja Husin.
- Encik Sulong, beranakkan Raja Sulaiman alias Raja Bih.
5.
 Putera kelima dari Opu Tanri Barang Daeng ri Lakka bernama Daeng 
Kammase alias Pangeran Mangkubumi. Kemudian ia menjadi penguasa di 
Kesultanan Sambas, Kalimantan Barat.
   NB :
Itulah gambaran sejarah panjang hubungan / pertalian keturunan dari To Manurun(g)-To Manurun(g) di Kaluppini-Enrekang (Massenrempulu'), Tanah Toraja dan Luwu' sampai ke bangsawan2 di Alam Melayu.....
wa Allahu Ta’ala a’lam bissawab.
Adapun yang mesti digaris bawahi dari tulisan saya di atas buat kita ma'lumkan dan cari lagi kebenarannya, antara lain :
- Mengenai masa hidup Sawerigading yg masuk ke dalam versi cerita lisan masyarakat Kaluppini mesti dikaji lagi mengingat sumbernya dari cerita lisan yang tidak akurat penanggalan/tarikhnya, kemungkinan ada perbedaan selisih masa dalam era Kitab La Galigo dengan masa cerita di To Manurung di atas.
 - Kemudian versi Tuhfat An Nafis yg banyak dikutip di dalam tulisan ini harus dikaji mengenai nama La Maddusila/La Madusalat, Apakah yang dimaksudkan adalah La Maddusila Datu Tanete yang diretas silsilahnya di atas ataukah La Maddusila Arung Mampu, perlu digarisbawahi, jika 5 Opu yang disebut di atas jika dilihat dari segi waktu mereka hidup maka lebih tua/duluan masanya daripada la Maddusila Datu Tanete yang adalah leluhur mereka. ma tentu ada keganjilan, namun jika merujuk pada La maddusila Arung Mampu, maka pantas menjadi leluhur bagi Opu 5 bersaudara berdasarkan masa hidupnya. Maka kesimpulannya, bahwa la maddusila yang dimaksudkan dalam Tuhfat An-Nafis adalah La Maddusila Arung Mampu.
 - Kontroversi Raja Kecil juga sangat besar, karena saudara-saudara kita di Ranah Minangkabau dan Siak Seri Indrapura memiliki versi yang berlainan dengan cerita di atas.
 
Sekali
 lagi ini hanya berupa cerita2 lisan dan digabung dengan berbagai 
sumber2 mengenai Manurun(g)-manurun(g) di Massenrempulu', Toraja dan 
Luwu' (Wilayah pegunungan Latimojong) kemudian di teruskan dengan 
menyambungkan cerita dari Tuhfat An-Nafs karya Raja Ali Haji. Jika ada 
yang tidak sependapat dengan versi ini, tiada mengapa sebab ini adalah 
versi yang diambil karena ikatan asal kedaerahan penulis...
Tabek....(Ma’af
 atas segala kesalahan dan khilaf jika ada dalam tulisan ini, karena 
hanya menyambungkan cerita2 lisan yg beredar secara subjektif. 
(Tulisan ini Belum Dapat Dijadikan Pegangan dalam Merunut Sejarah).
Wassalam ~Aco' al Makassari.
Adapun
 referensi-referensi dan sumber informasi yang saya ambil kemudian 
disatukan untuk penelusuran sejarah dalam tulisan ini, antara lain :(Tulisan ini Belum Dapat Dijadikan Pegangan dalam Merunut Sejarah).
Wassalam ~Aco' al Makassari.
- Mengutip dari grup ”To Manurun di Endekan - Bull gariz"
- Buku “Surat-Surat Raja Ali Haji Kepada Von der Wall, karya Jan Van der Putten dan Al Azhar
- Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar baru Van Hoeve Jakarta
